Terorisme dari Dimensi Sosial Budaya

Mahasiswa melakukan aksi demo pengecaman aksi teror yang terjadi di Jakarta dengan menyalakan lilin. (foto: Antara/M Risyal Hidayat)

N Jenny MT Hardjatno, Tenaga Ahli Pengajar bidang Sosial Budaya Lemhannas RI, Guru Besar Tetap Universitas Indonesia


DALAM tinjauan sejarah, protes terhadap keadaan anomali secara anarkistis dan berlangsung di bawah permukaan merupakan gejala modern sesudah Revolusi Prancis 1789.

Mulai abad ke-20, tindakan pembangkangan itu mengambil bentuk kekerasan yang dialamatkan pada tujuan-tujuan tertentu secara terarah, fokus, dan terorganisasi yang menimbulkan korban baik anasir-anasir yang menjadi tujuan langsung dari tindakan ekstrem itu maupun korban tidak langsung, yang biasanya rakyat yang tidak mengerti dan tidak tahu urusannya.

Akibat eksplosif dari situasi anarkistis sebagai kerusuhan sosial yang terbuka atau tertutup dalam bentuk resentment (kejengkelan) yang meluas dalam masyarakat atau juga pemahaman yang sempit terhadap agama sehingga menimbulkan intoleransi keagamaan.

Itu akan berdampak seperti air bendungan yang mulai merembesi dinding bendungan yang tidak diawasi dan dipelihara.

Realisasinya sebagai fenomena sosial memperlihatkan diri dalam berbagai bentuk seperti kegiatan teroris.

Dalam kerangka yang lebih luas, kegiatan teroris itu tidak hanya bisa dipandang sebagai kegiatan terorganisasi untuk melancarkan oposisi dengan kekerasan terhadap otoritas nasional, tetapi bisa juga terjadi pada tataran internasional seperti kejadian pada 11 September 2001 di New York, jatuhnya korban di Paris pada 13 November 2015, dan Jakarta yang menjadi sasaran keji teroris pada 14 Januari 2016 yang lalu.

Jadi, pada umumnya kegiatan teror yang dijalankan secara berkesinambungan, sistematis, dan fanatik sebenarnya merupakan ekspresi protes dan pemberontakan terhadap suatu situasi tidak adil atau pincang, atau pertentangan ideologi baik dalam tataran nasional maupun internasional.

Terlepas apakah setiap ideologi itu sendiri adil atau tidak adil.

Oleh karena itu, keliru sekali untuk memandang terorisme sebagai suatu fenomena yang terlepas dari proses sosial politik dan bahkan juga sosial budaya.

Anomali sosial budaya itu tidak jatuh dari langit, tetapi mencerminkan kegagalan sosial politik pada tingkat struktur kenegaraan maupun tatanan internasional.

Jadi jika ditinjau secara strategis, di satu sisi kegiatan teroris merupakan produk dari struktur sosial yang terdistorsi dan dinamika kebudayaan yang tidak utuh.

Dan di sisi lain, itu memang mempunyai tujuan untuk menegakkan suatu tatanan sosial dan tatanan normatif kultural yang menurut para teroris sendiri adalah sempurna.

Sebagai akibatnya, kegiatan teroris sebenarnya harus dipandang sebagai bagian dari tatanan sosial budaya mana pun baik di negara-negara yang sudah maju maupun negara-negara yang masih 'tercecer'.

Hasilnya kita memang bisa menyaksikan banyak tindakan teror yang terjadi di negara-negara yang masih 'berantakan'.

Akan tetapi, itu bisa juga terjadi di negara-negara yang bisa dibilang stabil, yaitu di kalangan negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Rusia, dan bahkan Swedia.

Penanggulangan terorisme

Penanggulangan terorisme dengan demikian dapat diibaratkan sebagai penanggulangan terhadap penyakit kanker yang sudah meraja hampir seluruh tubuh.

Akarnya harus dicari, dari penyebab kekecewaan-kekecewaan sosial maupun kebudayaan, serta dalam disfungsi institusi-institusi sosial politik yang kurang mampu menanggapi kepincangan-kepincangan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat yang bisa saling bertabrakan.

Tentu saja tindakan-tindakan antiteror dapat dijalankan pertama-tama sebagai tindakan untuk mengatasi kejahatan dan kekerasan pidana 'konvensional'.

Jika sesekali terjadi perampokan terhadap rumah orang kaya yang terpencil, boleh jadi insiden seperti itu bisa dipandang sebagai kejahatan klasik.

Akan tetapi, jika sekali dalam puluhan tahun terjadi pembunuhan terhadap seorang perdana menteri yang baru pulang menonton film di negaranya yang terkenal sebagai sangat aman, insiden itu bukanlah kejahatan klasik, melainkan punya akar yang hampir pasti lebih rumit dan mendalam.

Perampokan terhadap warung-warung mungkin juga biasa jika dipandang sebagai fenomena 'rakyat makan rakyat' di zaman serbasulit.

Namun, jika dilakukan sistematis terhadap mesin-mesin ATM, hampir pasti juga ada pola yang rapi dan agenda yang definitif dan tidak sederhana di baliknya.

Oleh karena itu, upaya penanganan kegiatan teroris tidak bisa dilakukan seperti halnya kita menangani proyek pembangunan nasional, apalagi seperti menangani wabah penyakit temporal.

Itu harus menjadi bagian dari agenda pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan nasional, juga mengharuskan adanya kejelian dalam memahami kekecewaan-kekecewaan serta kemarahan-kemarahan dan juga kebencian-kebencian sosial yang diwujudkan sebagai rangkaian perilaku yang membahayakan keselamatan umum maupun individu anggota masyarakat.

Strategi perlawanan terhadap terorisme terutama harus dijalankan secara terstruktur dengan melibatkan institusi-institusi pemerintah (yang tidak jarang juga bisa diinfiltrasi jaringan teroris).

Sisi lain yang tidak kalah pentingnya ialah kerja sama pemerintah yang jelas dan bersemangat partnership dengan warga negara serta kelompok-kelompok civil society yang kerap mencerminkan semangat konstruktif dari swadaya masyarakat.


ADM



10 Februari 2016 13:14 WIB
sumber : http://news.metrotvnews.com/
Previous
Next Post »