Fenomena "Teman Ahok", Saat Generasi Y Menolak Oligarki Parpol

Sabtu, 12 Maret 2016 | 10:20 WIB

Fenomena "Teman Ahok", Saat Generasi Y Menolak Oligarki Parpol

KOMPAS.com - Pekan-pekan terakhir ini, energi publik seolah tersedot oleh aksi anak-anak muda yang berhimpun diri dalam “koalisi” bernama “Teman Ahok”. Dunia politik kita pun dibuat geger dengan memperdebatkan satu nama: Ahok.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ini akhirnya memutuskan akan maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta sebagai calon perseorangan, berpasangan dengan Heru Budi Hartono. Salah satu alasan maju adalah karena desakan dan pinangan Teman Ahok agar Ahok melepaskan diri dari kungkungan partai politik.

Sebanyak 10.000 lembar formulir baru ludes sejak Ahok-Heru menyatakan akan maju lewat jalur perseorangan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 pada Senin (7/3/2016) lalu.




Para relawan yang mengusung Ahok-Heru dari Teman Ahok ini didominasi anak-anak muda. Kebanyakan mereka berasal dari generasi yang melek dunia digital dan internet, atau biasa disebut Gen Y, Generasi Y yang lahir pada 1981-1999 yang kini usianya berkisar 17-35 tahun. Walaupun banyak pula generasi tua yang akhirnya bergabung.

Wajah gerakan anak muda ini dengan mudah terbaca melalui laman web mereka di www.temanahok.com. Mereka juga memasang jalur komunikasi dengan publik dengan semua teknologi jejaring sosial yang tersedia saat ini.

Gaung gerakan anak-anak muda ini menggetarkan jagat perpolitikan baru. Mereka dianggap mendobrak kekuatan politik besar yang selama ini dikuasai elit parpol.

Hingga Sabtu (12/3/2016), melalui laman web www.temanahok.com, sudah berhasil dihimpun 784.977 KTP untuk Ahok. Angka itu kini masih dalam verifikasi ulang terkait persetujuan digandengnya Heru sebagai pasangan Ahok.

Para relawan bekerja heroik dan memberi harapan baru bagi mereka yang sudah muak dengan parpol.


Namun, ada sesuatu yang perlu diluruskan terhadap gerakan sejenis di masa mendatang jika ingin menjadi gerakan yang sifatnya sistematis. Pemahaman soal sistem politik Indonesia adalah salah satu hal yang harus segera dijernihkan sebelum gerakan ini direplikasi oleh daerah lain.

Memahami sistem politik

Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Donny Ardyanto, yang juga Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, mengatakan oligarki didefinisikan sebagai politik pertahanan kekayaan dari kaum oligark.

Siapa itu oligark? Mereka adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi.

Tujuan oligarki adalah mempertahankan kekuasaan ekonomi dan bahkan menambahnya. Oligark ini sedemikian canggih untuk mempertahankan kepentingan bisnisnya dengan terlibat dalam pembuatan UU dan kebijakan lain.

”UU akan selalu dipengaruhi oleh para oligark. Di Indonesia, problemnya makin rumit karena tak ada yang mengontrol,” ujar Donny.

Potret gerakan anak-anak muda ini, menurut Donny, masih dalam tahap menolak sistem politik Indonesia yang berbau oligarki.

“Baru tahap penolakan, belum menjadi perlawanan sistematis,” kata Donny. Gerakan semacam ini hanya memindahkan persoalan. Tetap saja, persoalan oligarki yang sebenarnya harus segera dibongkar, tak tersentuh sama sekali.

Sikap apatisme terhadap parpol justru akan membuat kekuasaan para oligark di parpol makin kuat bercokol. Sikap ramai-ramai mendukung seseorang keluar dari parpol dan mengusungnya ke jalan pasangan calon perseorangan, akan makin melemahkan sistem demokrasi yang salah satu pilarnya adalah parpol.

Ahok didorong independen. Jokowi didorong keluar parpol. Lalu, pada 2019 siapa yang akan kita pilih? Ini hanya menyelesaikan persoalan sesaat, bukan memperbaiki sistem,” kata Donny.

Gerakan seperti ini hanyalah gerakan permukaan yang tak akan mengubah keadaan. Parpol yang dipenuhi para oligark tak tersentuh. Maka, makin jayalah para oligark di parpol-parpol itu.

“Kalau mau membuat perubahan substansial, parpol harus diperbaiki. Entah dengan cara membuat partai baru atau dengan cara memperbaiki parpol lama,” kata Donny.

Kita sering mengritik kinerja DPR dan parpol, tapi seolah tak ada jalan untuk membereskannya. Banyak hal yang bisa dikerjakannya untuk memaksa parpol mengikuti kaidah demokrasi, misalnya memaksa mereka membuat laporan keuangan yang auditable.

Donny mengingatkan agar fenomena Teman Ahok tak berkembang menjadi gerakan antiparpol. Gerapkan antiparpol yang masif akan bergerak pada fasisme yang antidemokrasi dan hanya bertumpu pada salah satu figur yang sifatnya personal.

Regenerasi parpol macet
Lahirnya gerakan anak-anak muda untuk menolak oligarki sistem politik Indonesia tetap harus diberi ruang apresiasi. Masyarakat sipil selama ini telah merasakan bagaimana sakitnya dibohongi dan dikhianati para elite politik yang telah mendapatkan kekuasaannya, entah di jalur parlemen maupun eksekutif.

Tak ada jaminan, mereka yang tadinya dilahirkan oleh gerakan reformasi, setelah berada di partai politik, konsisten dengan keperpihakannya kepada rakyat.

Tak ada anak muda yang mampu mendongkel para oligark yang bercokol di parpol. Sepertinya, gerakan anak-anak muda menyadari ironi ini dan satu-satunya cara, bagi mereka, adalah melawan dari luar parpol.

Para oligark di parpol menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi melalui jalur-jalur legal dan memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan. Hingga pascareformasi, parpol menjadi lembaga yang sulit untuk dirombak dan direformasi secara demokratis.

Para penguasa parpol seolah tak rela kekuasaannya jatuh ke tangan generasi muda. Maka, regenerasi parpol macet, dan pendidikan politik di akar rumput tidak berjalan. Tugas parpol untuk pendidkan politik dan pendidikan kewarganegaraan pun terbengkalai.

Beberapa hasil pengaderan parpol memang membuahkan hasil. Namun, kondisi itu lebih didorong oleh desakan publik. Jika tak ada desakan publik, parpol akan tetap memasang calon-calon yang berkorelasi dengan pelanggengan kekuasaan para pengurus parpol.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego mengatakan, yang terjadi di parpol-parpol saat ini adalah tentang rebutan siapa menguasai apa. ”Tidak berbicara partai ini sebuah organisasi yang menghubungkan rakyat dengan negara, tak ada yang berpikir seperti itu,” kata Indria dalam sebuah kesempatan.

Dalam politik mobilisasi, siapa yang mempunyai uang akan menang. ”Tetapi, buat apa kemenangan itu jika hanya membuat rakyat muak?” tanya Indra. Dia mengingatkan, parpol yang pengelolaannya ditentukan oleh uang, lama-lama akan ditinggalkan rakyat.

Mementum minat politik netizen

Minat politik dan partisipasi anak muda tsemakin meningkat seiring dengan pemanfaatan teknologi internet, terutama melalui pelantar media sosial. Namun, perlu digarisbawahi, minat politik dan partisipasi kalangan netizen itu biasanya tak berbanding lurus dengan fakta di dunia nyata.

Aktivis dan pemerhati gerakan media sosial, yang juga Co-founder Change.org Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, seolah ada ”tembok” berupa persepsi buruk terhadap dunia politik yang dianggap kotor dan korup.

”Di sisi lain, mereka ingin memfungsikan sistem, yakni dengan mendorong agar pejabat A, atau instansi B, atau perusahaan C untuk memenuhi tuntutan anak-anak muda melalui, misalnya, petisi online,” kata Usman.

Usman mengatakan kekuatan anak muda di media sosial terbukti bisa ditransformasikan ke politik dunia nyata. ”Kita telah punya pengalaman bagus. Pengalaman ketika mendukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di media sosial akhirnya bisa jadi kekuatan riil waktu itu,” ujarnya.

Tahun konsolidasi generasi Y
Seperti sudah banyak diprediksi, tahun 2016 adalah tahun konsolidasi bagi kekuatan anak-anak muda melek internet. Tahun ini adalah tahun pengorganisasian diri, tahun memperkuat basis komunitas, dan tahun penentuan untuk mematangkan kesiapan Generasi Y mengahadapi event-event politik.

Perang tagar (hashtag) di media sosial sudah usai dan tak relevan lagi dianggap sebagai cara baru bersiasat di ranah demokrasi digital. Di 2016 inilah tahun untuk memulai “perang baru” menggunakan taktik baru dengan mengandalkan kekuatan data dan aksi nyata.

Di tangan anak-anak muda melek media sosial, mereka mencoba menghimpun kekuatan dari dunia maya agar bisa ditransformasikan di dunia nyata. Berbagai tools berbasis web kini telah siap dan telah mereka miliki untuk diberdayakan sesuai keinginan mereka.

Inilah babak baru bagi Gen Y, Generasi Y yang rata-rata lahir pada tahun 1981 hingga 1999 atau kini usianya berkisar 17-35 tahun, untuk memulai mengukir sejarah. Dari yang hanya sekadar main-main di dunia internet, para netizen ini mulai merambah kancah politik praktis.

Masuknya generasi muda ke ranah politik adalah sebuah upaya melawan paradoks. Selama ini, memang ada problem serius antara politik dunia riil dan gerakan media sosial.

Anak-anak generasi Y sebenarnya teralienasi atau tersingkirkan dari panggung politik. Hal itu terkait citra politik yang mereka tangkap sebagai sesuatu yang masih penuh intrik dan didominasi oligarki pemodal.

Gerakan netizen diyakini bisa mengerahkan potensi kaum muda sebagai kekuatan politik riil. Mereka bahkan bisa menjadi shadow parliament (parlemen bayangan). Bukan sebatas menjadi voters(pemilih) dari para politisi.

Namun, gerakan anak-anak muda ini perlu diingatkan agar tak keluar dari konteks pemaknaan sistem politik yang dianut Indonesia. Ada proyek besar berupa kesadaran soal penguatan sistem politik Indonesia yang hingga kini terbengkalai.

Boleh saja benci pada elite politik di parpol, namun tidak boleh membenci parpol sebagai salah satu pilar demokrasi. Karena individu atau figur bukanlah pilar demokrasi.

Source : Kompas.com
Previous
Next Post »